Kamis, 07 Februari 2008

Catatan Pinggir Sang Smoker


“Para sahabatku dan kawan seperjalanan
Ibalah hati melihat negeri memakai sandang
tapi bukan hasil tenunannya
Mereka pun menyantap pangan
seribu sayang, bukan hasil panen ladangnya
Ibalah hati menyaksikan negeri
menjunjung si zalim sebagai pahlawan
menyanjung penjajah
Sebagai yang gagah, pemenang perkasa
Ibalah hati menyimak negeri
yang mengutuk nafsu dalam mimpi
namun takluk padanya dikala jaga
Ibalah hati pada negeri
yang membungkam suara
kecuali untuk meratapi
arakan duka pengusung keranda
Negeri tanpa kebanggaan
kecuali puing reruntuhan
Enggan melawan kezaliman
sebelum leher terbelenggu besi pasungan
Ibalah hati pada negeri
Yang para filsufnya
tak lain pemain sulap.”
(Kahlil Gibran, Taman Sang Nabi)

Memposisikan Kebebasan Pers
Menurut Pandangan Hukum
di Indonesia

Pada tahun 1967, di masa-masa awal lahirnya orde baru, istilah kemerdekaan pers dan orde baru seringkali didengar seakan bergandengan erat satu sama lain, seolah-olah onlosmakelijk, tidak terpisahkan satu sama lain. Pada awal kelahiran orde baru memang menjanjikan tidak akan membatasi diri pada pengakuan kemerdekaan pers sebagai suatu asas demokrasi saja, melainkan juga menjunjung tinggi dan mengamalkan asas kemerdekaan tersebut. Sebenarnya sejak awal bangsa ini merdeka,kita telah mengenal akan kemerdekaan pers. Hal ini tercermin dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan adanya kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Menyangkut kebebasan pers itu sendiri baru terealisasi lebih dari 21 tahun kemudian, pada saat diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan Pokok Pers, dan pada tanggal 12 Desember 1966 difungsikan sebagai landasan untuk melakukan pembinaan pers.
Menurut John Stuart Mill, kebebasan berpikir, kebebasan mengungkapkan pendapat, dan kebebasan menerbitkan pendapat adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari hal itu kita bisa melihat adanya suatu korelasi yang jelas antara kebebasan berpikir, mengungkapkan pendapat dan menerbitkan pendapat sebagai suatu istilah yang seringkali kita dengar sebagai suatu bentuk kebebasan pers

Serangan Musuh Dapat Diruntuhkan,
Tapi Tiada Tentara Yang Dapat Menahan Sebuah Ide
Yang Tiba Waktunya Untuk Menyatakan Diri
(Victor Hugo)
Kemampuan pers dalam menjalankan peranannya tergantung dai seberapa besar kebebasan yang mereka peroleh dari pemerintah dan tentu saja kekuatan-kekuatan lainnya. Hanya pers yang bebas, idealis dan independen yang dapat melayani masyarakat yang demokratis. Ia harus bebas menyampaikan informasi, “mengkritik dengan bijaksana”, dan juga memberikan solusi sebagai bentuk sumbangsih mereka pada Negara. Namun demikian, kebebasan pers haruslah diiringi dengan tanggung jawab yang sama pentingnya dengan kebebasan itu sendiri.

Pertama-tama, pers harus mengungkapkan kebenaran. Pers juga tidak cukup dengan memuat kutipa dari narasumber secara lengkap, akan tetapi lebih dari itu pers harus mampu menguraikan arti dari informasi yang didapatkan dan menempatkan dalam suatu hubungan dan pemaknaan yang lebih baik. Kedua, pers memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan demokrasi itu sendiri. Ketiga, pers harus mampu meningkatkan daya kritis masyarakat dengan memberikan suatu pewacanaan lebih agar mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam memperbaiki diri. Keempat, pers haruslah objektif, memberitakan sesuatu secara benar, berdiri sendiri, dan terlepas dari suatu sistem baik itu pemerintahan ataupun kekuatan dari struktur ekonomi dimana ia menjadi bagiannya. Kebebasan pers harus dijaga dari penerbit yang hanya bertujuan mencari uang, yang tanpa disadari tergantung akan kebutuhan iklan. Tujuannya agar idealisme pers itu sendiri tetap terjaga dengan baik.

Publikasi adalah aksi
(Albert Camus)

Lalu bagaimana membentu sinergisitas antara kebebasan pers dan hokum di Indonesia yang juga memberikan batasan terhadap sebuah kebebasan. Seperti yang telah kita ketahui, Negara kita memiliki Undang-Undang Subversi, yang apabila kita telaah lebih dalam tentunya hal itu berlawanan dengan supremasi hukum di Indonesia karena isinya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Subservasi digunakan dalam peradilan pidana politik terhadap mereka yang dituduh merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah. Bahkan kepada siapapun yang melakukan kritik atas kebijakan pemerintah yang dinilai mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Namun Negara kita adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Melihat keadaan Undang-Undang Subversi yang nyata tida beresensi keadilan. Maka saat ini Undang-Undang Subversi tetap ada, namun dianjurkan untuk tidak dipakai hal ini dilakukan mengingat Negara kita sangat menjunjung tinggi asas demokrasi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti dengan begitu pers dapat dengan sebebas-bebasnya melepas berita dan kritiknya. Dalam hal ini, esensi dari pers adalah tidak diperkenankannya suatu tindakan preventif dalam kehidupan hukum, seperti sensor, pembredelan dan pencabutan ijin penerbitan. Segala bentuk pengekangan terlebih dahulu di[andang sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam kebebasan pers. Sedangkan pers yang bertanggungjawab hanya jika isi pemberitaannya tidak menyinggung permasalahan-permasalahan tentang penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama (hal-hal yang berbau SARA), pornografi, penyebaran berita bohong, dan tidak menyiarkan berita yang dapat mengganggu keamanan nasional dan ketertiban umum. Pers juga tidak boleh mengeluarkan pemberitaan yang dapat menghambat jalannya peradilan. Jika sampai pers memuat masalah tersebut, maka pers terkait dapat dituntut secara hukum ke pengadilan, namun tanpa harus dibredel.

Mengangkat pena
Lebih tajam daripada mengayunkan pedang
(Voltaire)

Oleh karena itu, diperlukan adanya rasa saling menghargai didalam kebebasan itu sendiri antara pers, pemerintah dan masyarakat. Kita tidak dapat memasung sebuah kebebasan, namun ada kalanya kita juga menyadari adanya keterbatasan dalam kandungan makna kebebasan itu sendiri. Meminjam pemaknaan dari Putu Wijaya, “kebebasan adalah kemerdekaan untuk menghayati dan mengekspresikan diri, berhadapan dengan orang lain yang juga sama bebas dan merdekanya dalam hal yangv persis sama, sehingga kebebasan selalu terbatas, bahkan sering juga tidak bebas, namun kita menikmatinya sebagai keindahan yang dahsyat.”

Tidak ada komentar: