Kamis, 07 Februari 2008

Demokrasi...?


Mempersoalkan
Penegakan Demokrasi
di Indonesia

Kata “demokrasi” memiliki berbagai macam makna. Apapun itu, saya tidak akan membahas masalah definisi disini. Akan tetapi lebih pada kandungan maknanya. Dalam dunia modern saat ini, demokrasi mengandung arti bahwa kekuasaan tertinggi dalam urusan-urusan politik merupakan hak rakyat. Makna tersebut seakan-akan nampak indah bagi orang-orang yang mencoba memahaminya secara harfiah. Dalam menjalankan hal tersebut, diperlukan suatu konsep kerja yang memungkinkan bagi kita untuk membedakan rezim yang demokratis dengan rezim lainnya. Konsep kerja itu ialah suatu wujud pandangan yang meyebutkan bahwa suatu pemerintahan disebut demokratis jika kaum minoritas atau wakil-wakilnya dapat dengan tertib dan terlembaga mengambil alih pemerintahan. Hal ini tentu saja hanya jika hal itu mendapat persetujuan yang diberikan bebas oleh kaum mayoritas masyarakat dewasa yang berhak memilih. Dalam hal ini, kita menekankan akan pentingnya keberadaan hak kaum minoritas.

Kelompok mayoritas dapat melakukan apa saja kecuali menghalangi kebebasan kelompok minoritas –kebebasan mengeluarkan pendapat, pers, berkumpul, jaminan-jaminan terhadap adanya suatu peradilan yang bebas, dan sebagainya- hal-hal yang memungkinkan dilakukan kelompok minoritas untuk mengartikulasikan permasalahan-permasalahan mereka sesuai dalam konsep hak-hak asasi manusia. Konsekuensinya, mereka pun harus memikul tanggung jawab atas hasil artikulasi itu sejauh reaksi atas tindakan tersebut masih berjalan. Dalam menghadapi permasalahan kompleks, semua manusia tidak mungkin dapat bersepakat dalam segala hal, prinsip kehendak mayoritas, sejauh masih menghormati hak-hak asasi manusia, merupakan prinsip yang terbaik. Prinsip itulah yang memungkinkan sampai saat ini membuat mayoritas masyarakat mendengung-dengungkan kata demorasi sebagai satu-satunya alternatif melepaskan diri dari tirani.

Dihadapan Sang Tiran
Jangan dengarkan apa yang dikatakannya,
Tapi dengarlah apa yang tidak dikatakannya
(Kahlil Gibran)

Demokrasi sebagai pandangan hidup, mengisyaratkan prinsip-prinsip lain yang memiliki aplikasi luas kepada hal-hal yang bersifat non-politis, maupun pada lembaga-lembaga politik. Haruslah tertanam dalam tiap pribadi setiap orang yang harus bereaksi dan mempengaruhi sebuah keputusan, jika keputusan-keputusan tersebut jelas-jelas berpengaruh dalam hdupnya. Apakah reaksi itu harus diambil berdasarkan konsultasi, pembagian tanggung jawab, atau dengan cara lainnya, tentunya hal itu sangat tergantung dari persoalan itu sendiri.

Walaupun prinsip “demokrasi sebagai pandangan hidup” adalah sah, akan tetapi tetap harus diingat bahwa demokrasi pertama-tama adalah sebuah konsep politik. Hal ini pun harus benar-benar tertanam dalam pikiran kita. Problema dan tantangan demokrasi sangatlah banyak. Beberapa diantaranya berkembang dari ketegangan diantara penekanan persamaan sosial dalam demokrasi, dan keinginan perlindungan terhadapan kebebasan variasi individual. Dalam suatu masyarakat yang demoratis, kebebasan individual bukanlah berkembang dari teori dan prktek mengenai demokrasi itu sendiri. Ia bersumber dari kemajemukan hubungan-hubungan sosial di dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perkembangan. Dalam situasi dan kondisi tertentu, pembatasan kebebasan individual memang dibutuhkan melalui aturan-aturan baik dalam hukum maupun atas nama norma moralitas. Akan tetapi sepanjang terdapat kesadaran atas batas-batas kebebasan individual yang tidak mengakibatkan opini masyarakat luas mempermasalahkannya, maka kebebasan individual dapat terus berlangsung.

Bagaimana mewujudkan syarat pemerintahan yang demokratis? Intinya, jika tidak ada paksaan fisik atau halangan yang berupa paksaan-paksaan atau hal-hal yang bersifat menekan terhadap pengungkapan pendapat, kebebasan pers dan kebebasan berkumpul; jika tidak terdapat monopoli propaganda oleh partai yang memerintah; dan jika tidak ada kontrol institusional terhadap media komunikasi. Maka dalam hal yang telah disebutkan kebebasan dalam demokrasi barulah dapat diwujudkan.

Semua buku dapat dibakar
Berbagai kota dapat dihancurkan
Tetapi kebenaran dan hasrat kebebasan
Selalu menyelinap di hati penduduk
(Roosevelt)

Problema dan tantangan demokrasi memang sangatlah banyak. Terlalu rumit untuk bisa diselesaikan secara universal karena apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda, bentuk penyelesaiannya pun bisa bermacam-macam. Beberapa diantara permasalahan tersebut berkembang dari ketegangan diantara penekanan persamaan sosial dalam demokrasi dan keinginan untuk mendapatkan perlindungan terhadap kebebasan dan variasi individual.

Permasalahan dalam penekanan persamaan sosial seringkali terjadi dalam kehidupan masyarakat. Seperti kkisah seorang pemulung yang terpaksa menggendong mayat anaknya kesana-kemari untuk kemudian dikuburkan. Jangankan untuk menguburkan anaknya, untuk membeli kain kafan pun ia tidak mampu. Awalnya ia ingin menguburkan anaknya di Kampung Kramat, Bogor, berharap disana mendapat bantuan dari sesama pemulung. Namun ketika hendak menjalankan niatnya, ia malah digelandang oleh polisi ke Polsek Tebet untuk diperiksa karena dicurigai membawa mayat seorang anak. Keterangan yang ia berikan tak serta merta diterima oleh polisi. Mereka tetap curiga kepada si pemulung. Akhirnya polisi mengirim mayat itu untuk diotopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Si pemulung hanya bisa pasrah dan menyerah terhadap keputusan itu. Namun akhirnya mayat sang anak tak jadi dibedah, dan si pemulung meneken surat pernyataan penolakan otopsi. Anehnya, mungkin karena ia hanyalah seorang pemulung, mayat sang anak diperbolehkan dibawanya keluar rumah sakit dengan digendong. Tanpa ada yang memberikan jasa ambulans gratis untuk membawa sang mayat. Sang polisi dan pihak rumah sakit pun membiarkan layaknya angin lalu yang lewat begitu saja. Untunglah tak lama setelah itu, masih ada orang-orang yang iba melihat kondisi sang pemulung, dan kemudian mengumpulkan uang urunan untuk melakukan prosesi penguburan mayat sang anak. Padahal jika kita menilik Pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara”, kejadian seperti ini harusnya tidak perlu terjadi, selama ini Pemda menyediakan pelayanan gratis bagi orang yang tidak mampu. Dengan syarat memberikan surat keterangan tidak mampu dari RT/RW dimana dia berdomisili. Namun bagaimana dengan sang pemulung, yang hidup dengan cara menggelandang bersama anaknya. Yang biasa beristirahat di halte-halte bus atau dalam gerobak kecilnya. Dengan kondisi seperti ini, harus kemana ia meminta surat keterangan tidak mampu? Apakah dengan begitu ia tidak lagi pantas mendapat layanan gratis dari pemerintah?

Itulah satu dari sekian banyak permasalahan penekanan persamaan sosial yang dialami bangsa ini. Masih banyak lagi permasalahan-permasalahan yang lain. Salah satunya permasalahan dalam mendapatkan perlindungan terhadap kebebasan individu. Seperti yang telah kita ketahui, bangsa ini mengaku akan free opinion dan free expression sebagai hak politis, fundamental dan vital sifatnya dalam tata hukum kita. Seperti yang telah ditetapkan dalam International Commision of Jurists dan juga terkandung dalam isi Declaration of Human Rights, bahwasanya setiap orang punya hak untuk menyatakan pendapat, dan tidak dipaksa untuk menyatakan pendapat yang berbeda dengan keyakinannya. Hal ini juga tersirat dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan akan kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Namun perlindungan terhadap kebebasan individu itu pun tidak selalu berjalan beriringan, pada tataran tertentu kekuasaan tertinggilah yang lebih menentukan.

Jangan biarkan keadilan tanpa kekuasaan
Ia menjadi tanpa daya dan mandul
Terlebih lagi,
Jangan biarkan kekuasaan tanpa keadilan
Ia menjadi buas dan menindas
(Kata Hakamura)

Contoh kasus yang paling dekat dengan kehidupan kita adalah permasalahan perlindungan hukum dalam menegakkan demokrasi disalah satu kampus PTN ternama di Jawa Barat beberapa waktu lalu. Dimana pihak birokrat kampus PTN tersebut dengan tegas akan memberian sanksi skorsing bahkan sanksi drop out (DO) kepada mahasiswanya yang melakukan aksi unjuk rasa menyikapi kasus semburan lumpur panas Lapindo Brantas untuk membela hak-hak rakyat yang masih belum terpenuhi. Disini kita bisa melihat walaupun telah seringkali didengungkan akan kebebasan berbicara dan berpendapat namun dalam aplikasinya tidaklan semudah yang kita harapkan. Maka dari itu, perlu adanya komitmen bersama dari seluruh elemen-elemen kampus terkait untuk mewujudkan kehidupan demokratisasi kampus yang selama ini diidam-idamkan.

Saya yakin, masyarakat intelektual Indonesia sudah sangat paham akan apa itu demokrasi. Namun permasalahannya, kita tidak pernah mencapai satu tataran pemahaman bersama tentang makna demokrasi itu sendiri. Sehingga seringkali ketika dalam menerapkan konsep demokrasi terjadi kesalahan-kesalahan akibat perbedaan pemaknaan dari masing-masing individu terkait.

Catatan Pinggir Sang Smoker


“Para sahabatku dan kawan seperjalanan
Ibalah hati melihat negeri memakai sandang
tapi bukan hasil tenunannya
Mereka pun menyantap pangan
seribu sayang, bukan hasil panen ladangnya
Ibalah hati menyaksikan negeri
menjunjung si zalim sebagai pahlawan
menyanjung penjajah
Sebagai yang gagah, pemenang perkasa
Ibalah hati menyimak negeri
yang mengutuk nafsu dalam mimpi
namun takluk padanya dikala jaga
Ibalah hati pada negeri
yang membungkam suara
kecuali untuk meratapi
arakan duka pengusung keranda
Negeri tanpa kebanggaan
kecuali puing reruntuhan
Enggan melawan kezaliman
sebelum leher terbelenggu besi pasungan
Ibalah hati pada negeri
Yang para filsufnya
tak lain pemain sulap.”
(Kahlil Gibran, Taman Sang Nabi)

Memposisikan Kebebasan Pers
Menurut Pandangan Hukum
di Indonesia

Pada tahun 1967, di masa-masa awal lahirnya orde baru, istilah kemerdekaan pers dan orde baru seringkali didengar seakan bergandengan erat satu sama lain, seolah-olah onlosmakelijk, tidak terpisahkan satu sama lain. Pada awal kelahiran orde baru memang menjanjikan tidak akan membatasi diri pada pengakuan kemerdekaan pers sebagai suatu asas demokrasi saja, melainkan juga menjunjung tinggi dan mengamalkan asas kemerdekaan tersebut. Sebenarnya sejak awal bangsa ini merdeka,kita telah mengenal akan kemerdekaan pers. Hal ini tercermin dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan adanya kemerdekaan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Menyangkut kebebasan pers itu sendiri baru terealisasi lebih dari 21 tahun kemudian, pada saat diundangkannya Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang ketentuan Pokok Pers, dan pada tanggal 12 Desember 1966 difungsikan sebagai landasan untuk melakukan pembinaan pers.
Menurut John Stuart Mill, kebebasan berpikir, kebebasan mengungkapkan pendapat, dan kebebasan menerbitkan pendapat adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Dari hal itu kita bisa melihat adanya suatu korelasi yang jelas antara kebebasan berpikir, mengungkapkan pendapat dan menerbitkan pendapat sebagai suatu istilah yang seringkali kita dengar sebagai suatu bentuk kebebasan pers

Serangan Musuh Dapat Diruntuhkan,
Tapi Tiada Tentara Yang Dapat Menahan Sebuah Ide
Yang Tiba Waktunya Untuk Menyatakan Diri
(Victor Hugo)
Kemampuan pers dalam menjalankan peranannya tergantung dai seberapa besar kebebasan yang mereka peroleh dari pemerintah dan tentu saja kekuatan-kekuatan lainnya. Hanya pers yang bebas, idealis dan independen yang dapat melayani masyarakat yang demokratis. Ia harus bebas menyampaikan informasi, “mengkritik dengan bijaksana”, dan juga memberikan solusi sebagai bentuk sumbangsih mereka pada Negara. Namun demikian, kebebasan pers haruslah diiringi dengan tanggung jawab yang sama pentingnya dengan kebebasan itu sendiri.

Pertama-tama, pers harus mengungkapkan kebenaran. Pers juga tidak cukup dengan memuat kutipa dari narasumber secara lengkap, akan tetapi lebih dari itu pers harus mampu menguraikan arti dari informasi yang didapatkan dan menempatkan dalam suatu hubungan dan pemaknaan yang lebih baik. Kedua, pers memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan demokrasi itu sendiri. Ketiga, pers harus mampu meningkatkan daya kritis masyarakat dengan memberikan suatu pewacanaan lebih agar mereka dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam memperbaiki diri. Keempat, pers haruslah objektif, memberitakan sesuatu secara benar, berdiri sendiri, dan terlepas dari suatu sistem baik itu pemerintahan ataupun kekuatan dari struktur ekonomi dimana ia menjadi bagiannya. Kebebasan pers harus dijaga dari penerbit yang hanya bertujuan mencari uang, yang tanpa disadari tergantung akan kebutuhan iklan. Tujuannya agar idealisme pers itu sendiri tetap terjaga dengan baik.

Publikasi adalah aksi
(Albert Camus)

Lalu bagaimana membentu sinergisitas antara kebebasan pers dan hokum di Indonesia yang juga memberikan batasan terhadap sebuah kebebasan. Seperti yang telah kita ketahui, Negara kita memiliki Undang-Undang Subversi, yang apabila kita telaah lebih dalam tentunya hal itu berlawanan dengan supremasi hukum di Indonesia karena isinya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Subservasi digunakan dalam peradilan pidana politik terhadap mereka yang dituduh merongrong kekuasaan dan kewibawaan pemerintah. Bahkan kepada siapapun yang melakukan kritik atas kebijakan pemerintah yang dinilai mengganggu stabilitas keamanan nasional.

Namun Negara kita adalah Negara yang berdasarkan atas Hukum (rechstaat), bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Melihat keadaan Undang-Undang Subversi yang nyata tida beresensi keadilan. Maka saat ini Undang-Undang Subversi tetap ada, namun dianjurkan untuk tidak dipakai hal ini dilakukan mengingat Negara kita sangat menjunjung tinggi asas demokrasi dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi, bukan berarti dengan begitu pers dapat dengan sebebas-bebasnya melepas berita dan kritiknya. Dalam hal ini, esensi dari pers adalah tidak diperkenankannya suatu tindakan preventif dalam kehidupan hukum, seperti sensor, pembredelan dan pencabutan ijin penerbitan. Segala bentuk pengekangan terlebih dahulu di[andang sebagai tindakan yang tidak dibenarkan dalam kebebasan pers. Sedangkan pers yang bertanggungjawab hanya jika isi pemberitaannya tidak menyinggung permasalahan-permasalahan tentang penghinaan, penghasutan, pernyataan terhadap agama (hal-hal yang berbau SARA), pornografi, penyebaran berita bohong, dan tidak menyiarkan berita yang dapat mengganggu keamanan nasional dan ketertiban umum. Pers juga tidak boleh mengeluarkan pemberitaan yang dapat menghambat jalannya peradilan. Jika sampai pers memuat masalah tersebut, maka pers terkait dapat dituntut secara hukum ke pengadilan, namun tanpa harus dibredel.

Mengangkat pena
Lebih tajam daripada mengayunkan pedang
(Voltaire)

Oleh karena itu, diperlukan adanya rasa saling menghargai didalam kebebasan itu sendiri antara pers, pemerintah dan masyarakat. Kita tidak dapat memasung sebuah kebebasan, namun ada kalanya kita juga menyadari adanya keterbatasan dalam kandungan makna kebebasan itu sendiri. Meminjam pemaknaan dari Putu Wijaya, “kebebasan adalah kemerdekaan untuk menghayati dan mengekspresikan diri, berhadapan dengan orang lain yang juga sama bebas dan merdekanya dalam hal yangv persis sama, sehingga kebebasan selalu terbatas, bahkan sering juga tidak bebas, namun kita menikmatinya sebagai keindahan yang dahsyat.”